Senin, 11 Mei 2015

Hujan atau Pelangi?



Pelangi, pelangi. Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan…
Sore itu, langit teramat indah untuk ditinggalkan seorang diri. Warnanya yang cantik dan mendamaikan, membuatku tak bisa memalingkan pandanganku darinya. Lalu ku raih hape dan mengirimkan SMS padanya.
Hey, ada pelangi nih, di langit! :) ” tulisku dengan emoticon senyum yang mewakili senyum manisku.
“Sebelah mana?” katanya.
“Timur, eh selatan.”
“Gak keliatan.” keluhnya.
“Dari sini keliatan, jelas malah :p ” tulisku lagi dengan emoticon melet,hehehe
“Yah, aku gak bisa liat.”
“Yah, kasian :( padahal indah banget loh!” aku jadi rada sedih gimana gitu.
“Indahan Pelangiku!”
“Hehehe, siapa? Hey, pelanginya udah pergi :(
Kamu..”
“????????????” bingung -_-
Sayangnya aku nggak bisa mengabadikan moment indah itu. Memang, memotret pelangi kadangkala gampang-gampang susah, karena hanya muncul sebentar.
Ya, pelangi yang dulu kukenal sebagai sahabat berwarna-warni, sudah tak ada lagi. Sebab kini ia semakin jarang menemaniku setiap pagi, tidak seperti dulu. Pelangi yang kukenal sekarang amatlah berbeda dengan yang kukenal di masa kecilku.

Dulu, ia selalu membangunkanku setiap pagi, dengan wajahnya yang lucu. Setiap kali namanya kusebut, ia selalu hadir menyambutku, tepat di ujung jari telunjuk. Kadang-kadang Ibu juga ikut membantu memanggilkannya, ketika bibirku terlalu lemah untuk mengucapkannya. Tapi sekarang, Ibu pun tak mau melakukannya lagi, katanya aku sudah besar dan bisa memanggilnya sendiri. Meskipun tidak jarang aku dibilangnya sudah gila, karena berteriak memanggil pelangi.


Saat kumerasa sepi, tak jarang kumencoba memanggilnya untuk menemaniku di sini. Berkali-kali kuberteriak, “PELANGI!!! PELANGI!!!” tapi tak ada perubahan, tak ada tanda-tanda akan muncul pelangi. Bukan jawaban dari pelangi yang kudapat, tapi ocehan tetangga yang katanya sedang sakit gigi.
 “Kamu udah gila ya, manggil-manggil pelangi?”
Pelangi apa yang terjadi kepadamu? Kamu tak lagi mau mendengar panggilanku. Bahkan ketika aku bertanya kepada bumi tentangmu, katanya kamu lebih banyak malu-malu, tak mau mendekatiku.

Aku pun kemudian mempertanyakan maksud pelangi. Ia yang lebih suka diam-diam bersembunyi, hanya muncul ketika hujan beranjak pergi. Sering pula aku mengatasnamakan rasa penasaran, ketika mataku sibuk mencari-cari tanda hadirnya di langit tinggi. Dulu, aku sangat menantikan hadirnya pelangi, meskipun kutahu bahwa untuk bisa melihat pelangi, bajuku haruslah basah terlebih dahulu. Karena pelangi tidak akan muncul tanpa adanya hujan.

Namun semakin lama, aku mulai merenungkannya kembali. Dan kini pertanyaan itu pun berganti. Tidak lagi tentang kehadiran pelangi, tidak lagi tentang rasa dingin yang merasuk ke dalam hati. Tapi tentang sesuatu yang datang bersama dengan pelangi: sunyi. Kesunyian yang menyebabkan pikiranku ramai oleh teka-teki, kesunyian yang menyebarkan rasa keingintahuan atas kebimbangan yang tak kumengerti.

Rasa sunyi itulah yang terkadang kubenci, terlebih ketika aku menyadari bahwa menyambut pelangi sama dengan melepaskan kepergian hujan. Hujan yang dulu amat kusuka sekaligus kubenci karena membuat Ibuku marah-marah atas bajuku yang basah. Hujan yang kemudian kubiarkan di balik jendela, menyampaikan doa-doa serta salam penuh rindu dariku untuk dunia. Dunia yang di dalamnya terdapat aku dan seseorang, jauh di sana, saling menitipkan doa. Hujan yang menjadi surga bagi jiwa-jiwa yang mati kekeringan. 

Hujan yang menjadi ganti atas setiap kesedihan yang melanda.
Ketika hujan turun, orangpun berlomba, berebut tempat untuk segera menjauhinya. Entah apa yang ditakutkan oleh mereka. Sementara aku berebut untuk mendekat dengannya, menyambut dengan tangan terbuka meskipun ia hanya datang seorang diri saja.
Hujan yang terkadang bertamu tanpa diundang, terkadang hilang saat dirindukan. Sesekali datang lewat salam berupa angin kencang, kemudian pergi dengan kilatan petir yang menyambar. Meninggalkan bekas di pekarangan rumah.

Namun hujan tidak selalu datang dan pergi mengucap salam, lebih banyak diam-diam. Kadang ia bertamu sepanjang malam, hingga menemaniku tertidur dan berharap masih bisa menjumpainya esok pagi. Keesokan harinya, ia pergi tanpa berita sama sekali. Hanya sekejap saja. Setidaknya, di antara sekian kali kedatangan dan kepergiannya, ia meninggalkan pelangi untuk menghiburku sesekali.

Maka ketika pelangi itu pun tiada, kau pasti tahu apa yang kurasakan saat itu. Benar-benar hampa. Tak tahu kapan ia akan datang lagi. Maka seringkali kuberpikir bahwa aku bisa membuat hujanku sendiri, bahkan mungkin membuat pelangi. Kau tahu cara membuat hujan dan pelangi sendiri? Ya, dengan menangis. Dari mana datangnya pelangi? Dari pancaran matahariku yang mencerahkanku dengan senyumnya yang hangat. Kamu pasti tahu kan, siapa matahariku? Tidak? Cobalah bercermin, kamu pasti bisa melihatnya di sana.

Tapi dengan begitu, apakah hujan akan datang setiap hari? Dengan kehadiranmu yang kujadikan sebagai matahari itu, apakah pelangi akan muncul di penghujung hari? Kurasa tidak, sekalipun kamu menghujaniku dengan firasat bahwa ada pelangi tepat di depan bola mataku. Tetap saja, hujan dan pelangi ciptaan Tuhan jauh lebih berarti dibanding semua yang telah kita lewati selama ini. Bukankah Dia juga yang telah menciptakan semua ini?
Aku mungkin telah salah merindukan pelangi. Mengabaikan hujan yang justru menjadi sebab munculnya pelangi. Atau aku telah salah merasa kehilangan akan hujan, saat pelangi datang menghampiri. Hujan yang datang beramai-ramai mengantarkan sunyi. Sebuah kesunyian yang kemudian membuatku semakin tak mengerti, sebenarnya mana yang lebih kurindukan: hujan, atau pelangi? Sebab keduanya saling melengkapi.

Pelangi. Bila waktunya kelak kau pergi, akankah hujan datang kembali?

Bobotsari, 10 Mei 2015

0 comments:

Posting Komentar