Pelangi,
pelangi. Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan…
Merah kuning hijau
di langit yang biru
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan…
Sore
itu, langit teramat indah untuk ditinggalkan seorang diri. Warnanya yang cantik
dan mendamaikan, membuatku tak bisa memalingkan pandanganku darinya. Lalu ku
raih hape dan mengirimkan SMS padanya.
“Hey, ada pelangi nih, di langit! :) ” tulisku dengan
emoticon senyum yang mewakili senyum manisku.
“Sebelah
mana?” katanya.
“Timur,
eh selatan.”
“Gak
keliatan.” keluhnya.
“Dari
sini keliatan, jelas malah :p ” tulisku lagi dengan emoticon melet,hehehe
“Yah,
aku gak bisa liat.”
“Yah,
kasian :(
padahal indah banget loh!” aku jadi rada sedih gimana gitu.
“Indahan
Pelangiku!”
“Hehehe,
siapa? Hey, pelanginya udah pergi :( ”
“Kamu..”
“????????????”
bingung -_-
Sayangnya
aku nggak bisa mengabadikan moment indah itu. Memang, memotret pelangi
kadangkala gampang-gampang susah, karena hanya muncul sebentar.
Ya,
pelangi yang dulu kukenal sebagai sahabat berwarna-warni, sudah tak ada lagi.
Sebab kini ia semakin jarang menemaniku setiap pagi, tidak seperti dulu.
Pelangi yang kukenal sekarang amatlah berbeda dengan yang kukenal di masa
kecilku.
Dulu,
ia selalu membangunkanku setiap pagi, dengan wajahnya yang lucu. Setiap kali
namanya kusebut, ia selalu hadir menyambutku, tepat di ujung jari telunjuk.
Kadang-kadang Ibu juga ikut membantu memanggilkannya, ketika bibirku terlalu
lemah untuk mengucapkannya. Tapi sekarang, Ibu pun tak mau melakukannya lagi,
katanya aku sudah besar dan bisa memanggilnya sendiri. Meskipun tidak jarang
aku dibilangnya sudah gila, karena berteriak memanggil pelangi.
Saat
kumerasa sepi, tak jarang kumencoba memanggilnya untuk menemaniku di sini.
Berkali-kali kuberteriak, “PELANGI!!! PELANGI!!!” tapi tak ada perubahan, tak
ada tanda-tanda akan muncul pelangi. Bukan jawaban dari pelangi yang kudapat,
tapi ocehan tetangga yang katanya sedang sakit gigi.
“Kamu
udah gila ya, manggil-manggil pelangi?”
Pelangi
apa yang terjadi kepadamu? Kamu tak lagi mau mendengar panggilanku. Bahkan
ketika aku bertanya kepada bumi tentangmu, katanya kamu lebih banyak malu-malu,
tak mau mendekatiku.
Aku
pun kemudian mempertanyakan maksud pelangi. Ia yang lebih suka diam-diam
bersembunyi, hanya muncul ketika hujan beranjak pergi. Sering pula aku
mengatasnamakan rasa penasaran, ketika mataku sibuk mencari-cari tanda hadirnya
di langit tinggi. Dulu, aku sangat menantikan hadirnya pelangi, meskipun kutahu
bahwa untuk bisa melihat pelangi, bajuku haruslah basah terlebih dahulu. Karena
pelangi tidak akan muncul tanpa adanya hujan.
Namun
semakin lama, aku mulai merenungkannya kembali. Dan kini pertanyaan itu pun
berganti. Tidak lagi tentang kehadiran pelangi, tidak lagi tentang rasa dingin
yang merasuk ke dalam hati. Tapi tentang sesuatu yang datang bersama dengan
pelangi: sunyi. Kesunyian yang menyebabkan pikiranku ramai oleh teka-teki,
kesunyian yang menyebarkan rasa keingintahuan atas kebimbangan yang tak
kumengerti.
Rasa
sunyi itulah yang terkadang kubenci, terlebih ketika aku menyadari bahwa
menyambut pelangi sama dengan melepaskan kepergian hujan. Hujan yang dulu amat
kusuka sekaligus kubenci karena membuat Ibuku marah-marah atas bajuku yang
basah. Hujan yang kemudian kubiarkan di balik jendela, menyampaikan doa-doa serta
salam penuh rindu dariku untuk dunia. Dunia yang di dalamnya terdapat aku dan
seseorang, jauh di sana, saling menitipkan doa. Hujan yang menjadi surga bagi
jiwa-jiwa yang mati kekeringan.
Hujan yang menjadi ganti atas setiap kesedihan
yang melanda.
Ketika
hujan turun, orangpun berlomba, berebut tempat untuk segera menjauhinya. Entah
apa yang ditakutkan oleh mereka. Sementara aku berebut untuk mendekat
dengannya, menyambut dengan tangan terbuka meskipun ia hanya datang seorang
diri saja.
Hujan
yang terkadang bertamu tanpa diundang, terkadang hilang saat dirindukan.
Sesekali datang lewat salam berupa angin kencang, kemudian pergi dengan kilatan
petir yang menyambar. Meninggalkan bekas di pekarangan rumah.
Namun
hujan tidak selalu datang dan pergi mengucap salam, lebih banyak diam-diam.
Kadang ia bertamu sepanjang malam, hingga menemaniku tertidur dan berharap
masih bisa menjumpainya esok pagi. Keesokan harinya, ia pergi tanpa berita sama
sekali. Hanya sekejap saja. Setidaknya, di antara sekian kali kedatangan dan
kepergiannya, ia meninggalkan pelangi untuk menghiburku sesekali.
Maka
ketika pelangi itu pun tiada, kau pasti tahu apa yang kurasakan saat itu.
Benar-benar hampa. Tak tahu kapan ia akan datang lagi. Maka seringkali
kuberpikir bahwa aku bisa membuat hujanku sendiri, bahkan mungkin membuat
pelangi. Kau tahu cara membuat hujan dan pelangi sendiri? Ya, dengan menangis.
Dari mana datangnya pelangi? Dari pancaran matahariku yang mencerahkanku dengan
senyumnya yang hangat. Kamu pasti tahu kan, siapa matahariku? Tidak? Cobalah
bercermin, kamu pasti bisa melihatnya di sana.
Tapi
dengan begitu, apakah hujan akan datang setiap hari? Dengan kehadiranmu yang
kujadikan sebagai matahari itu, apakah pelangi akan muncul di penghujung hari?
Kurasa tidak, sekalipun kamu menghujaniku dengan firasat bahwa ada pelangi
tepat di depan bola mataku. Tetap saja, hujan dan pelangi ciptaan Tuhan jauh
lebih berarti dibanding semua yang telah kita lewati selama ini. Bukankah Dia
juga yang telah menciptakan semua ini?
Aku
mungkin telah salah merindukan pelangi. Mengabaikan hujan yang justru menjadi
sebab munculnya pelangi. Atau aku telah salah merasa kehilangan akan hujan,
saat pelangi datang menghampiri. Hujan yang datang beramai-ramai
mengantarkan sunyi. Sebuah kesunyian yang kemudian membuatku semakin tak
mengerti, sebenarnya mana yang lebih kurindukan: hujan, atau pelangi? Sebab
keduanya saling melengkapi.
Pelangi.
Bila waktunya kelak kau pergi, akankah hujan datang kembali?
Bobotsari, 10 Mei 2015
0 comments:
Posting Komentar