Semangatku semakin hari semakin bertambah. Apalagi pengumuman yang ku lihat dengan mata kepalaku sendiri itu yang membuatku bahagia, bersyukur, dan semangat. Semangat yang waktu itu sempat redup. Bahkan seakan tak pernah membara lagi. Semangat yang patah ketika bapak tak mengizinkan aku untuk kuliah dengan alasan “nduk bapak nggak sanggup mbiayain kamu, kuliah itu kan biayanya mahal, bapak takut, apalagi pekerjaan bapak kan hanya seorang petani,”. Sedih, kecewa, gundah gulana ku rasakan saat itu. Air matapun tak sanggup lagi ku bendung di sudut mata. Hanya doa, doa, dan doa yang selalu ku panjatkan kepadaNya. Berharap bapak bisa membuka hatinya, dan mengizinkanku kuliah. Segala upaya pun sudah ku lakukan. Aku sempat mengatakan sesuatu pada bapak. Mencoba meyakinkannya, bahwa bapak pasti bisa membiayai kuliahku walau beliau hanya seorang petani. “Pak, kuliah itu ndak semahal yang bapak bayangkan, di IAIN Purwokerto itu biaya kuliah sesuai dengan penghasilan orang tua, semakin besar penghasilannya maka semakin besar juga biaya kuliahnya, begitupun sebaliknya pak, jadi, bapak jangan khawatir mengenai biayanya, InsyaAlloh bapak sanggup, dan kalau Ra’ jadi kuliah di sana, Ra’ akan mencoba mencari Beasiswa, supaya bisa meringankan tanggungan bapak, tapi, kalaupun Ra’ tetap ndak di izinkan kuliah, InsyaAlloh Ra’ ikhlas pak” tak terasa, air mata sudah meleleh di pipi. Segera ku seka, agar tak ada yang melihat air mata tulusku itu, bukan karena apa, aku hanya tidak ingin mereka tahu aku sedih. Hari berikutnya, aku mulai bisa menerima jika seandainya aku tetap tidak diizinkan kuliah. Mungkin kuliah di kampus hijau itu hanya impian. Dan mungkin Allah sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untukku. Aku ikhlas Ya Rabb..
Setelah
pengumuman SPAN-PTKIN itu keluar, aku mendownload persyaratan registrasinya.
Dengan segera aku mencatat satu persatu point pentingnya. Tak pernah ku duga,
persyaratan registrasi kuliah itu cukup ribet. Salah satunya harus membuat
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), syarat membuat SKCK yaitu
melampirkan fotokopi KTP, sedangkan aku belum membuat KTP. Walaupun umurku
sudah 17 tahun, tapi aku belum punya KTP, dan sampai detik ini pun aku belum
punya (belum jadi). Aku mencoba membicarakan hal itu dengan mama. Mama sangat
mendukung. Lalu ku bicarakan dengan kakak-kakakku, mereka pun setuju dan siap
membantuku melengkapi persyaratan registrasi kuliah itu. Bagaimana dengan
bapak? Ya Allah, semoga Engkau membuka pintu hati bapak. Subhanalloh, Ternyata
bapak pun menyetujui dan mendukungku untuk mengurus registrasi kuliah.
Alhamdulillah Ya Allah, doaku telah Kau kabulkan. Simpul senyum mengembang
seketika itu juga. Bahagianya mendengar keputusan akhir dari bapak. Langkah
awal yang ku lakukan adalah pergi ke balai desa. Untuk membuat KTP, rujukan
SKCK dan surat penghasilan orang tua. Bersama kakakku, mas Udin aku pergi ke
balai desa. Kebetulan hari sabtu, jadi balai desa tutup. Akhirnya aku pulang
dan menunggu hari berikutnya. Tibalah hari senin, hari pertama aku mengurus
persyaratan registrasi kuliah. Pertama kalinya juga aku mengurus KTP sendiri. Pagi
yang cerah untuk mengawali semuanya dengan baik. Bersama mas Udin lagi, aku
pergi ke balai desa. Sesampainya, aku mengatakan maskud dan tujuanku kepada pak
kades. Alhamdulillah, surat penghasilan orang tua segera dibuatkan, begitupun
dengan surat untuk membuatk KTP dan SKCK. Untuk mendapatkan semua itu pastinya
membutuhkan kesabaran yang sangat besar. Sekian jam lamanya, akhirnya surat - suratku selesai juga. Itu artinya,
kegiatanku duduk manis di kursi hijau akan segera berakhir. Hanya butuh tanda tangan dan stampel dari pak
kades. Ternyata pak kades sudah tidak ada di balai desa, beliau pergi rapat di
pendopo kecamatan katanya. Ku putuskan untuk menyusul, tapi malangnya nasib di
tengah perjalananku rintik air hujan mulai turun dan membasahi kerudung putih
yang ku pakai. Apa boleh buat? Aku dan mas Udin sudah setengah perjalanan
menuju pendopo kecamatan. Kami tetap melanjutkan perjalanan dengan mengendarai
motor butut disertai hujan tanpa mantel. Hati kecilku berkata, terimakasih mas, kamu mau mengantarkan adik
kecilmu ini ke pendopo kecamatan yang jaraknya lumayan jauh, hanya untuk
meminta tanda tangan dari pak kades, kamu rela berbasah-basah karena hujan,
sekali lagi terimakasih mas, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika
tidak ada kamu, kamulah kakak yang baik. Aku mendekap erat map yang berisi
surat – surat penting dari desa. Seakan tak rela satu tetes air hujan
membasahinya. Sesampainya di sana, aku menanyakan keberadaan pak kades
Karangasem kepada petugas yang sedang duduk di kursinya. Beliau menjawab
disertakan juga senyumnya “Ditunggu saja ya mbak” “Nggih pak,
maturnuwun, pareng…” jawabku seramah mungkin. Aku menunggu pak kades di
pendopo kecamatan bersama mas Udin, sementara hujan semakin deras membasahi
bumi. Setengah jam lamanya aku duduk sambil menghitung air hujan, dan menunggu
pak kades. Sedikit risau, karena sedari tadi pendopo masih sepi, dan tidak ada
tanda – tanda akan dilaksanakan sebuah rapat di sana. Sosok pak kades dengan
kumis tebalnya pun tak kunjung datang. Kemudian datanglah seorang bapak tua
yang perutnya agak buncit seperti ibu hamil dengan menenteng tas hitam,
melempar senyumnya kepadaku. Segera mungkin ku balas dengan senyuman yang
terindah (hehehe). Beberapa patah kata basa basi pun ku lontarkan kepadanya.
Dan akhirnya ku curahkan kerisauanku tentang pak kades yang tak kunjung datang.
Beliau pun menghubungi pak kades dengan mengirim SMS dan menanyakan keberadaannya.
Satu balasan dari pak kades yang membuat harapanku hancur berkeping – keeping
saat itu. Saya lagi rapat di pendopo
kabupaten. Ya Rabbi.. waktuku terbuang sia – sia. Ternyata bukan di pendopo
kecamatan, melainkan di pendopo kabupaten. Sudah sekian lamanya ku menunggu.
Tapi ternyata aku salah mendapatkan informasi. Ya sudahlah, ku akhiri
kekecewaanku dan tak lupa berterimakasih kepada bapak tua yang sebetulnya sangat
ramah itu, namun aku lupa namanya. Siapapun
engkau, dimanapun engkau, aku sangat berterimakasih kepadamu pak, karena
informasi dari bapaklah aku mengakhiri penantian yang berujung sia – sia itu. Hujan
masih setia membasahi bumi, namun tinggal beberapa rintiknya saja. Mengingat
persyaratan registrasi yang belum lengkap, aku teringat point pertama. “1. Pasfoto berwarna dengan latar belakang
merah berpakaian formal, ukuran 2x3 sebanyak 2 lembar dan ukuran 3x4 sebanyak 4
lembar.” Kebetulan di dekat pendopo kecamatan ada tempat untuk mencetak
foto, mampirlah aku ke sana. Berhubung aku tidak mempunyai file foto latar
belakang merah berpakaian formal, ku putuskan untuk mengambil gambar di sana.
Beruntung, seorang ibu muda yang memotretku. Jadi tidak ada rasa malu atau
gerogi dalam benakku. Tak butuh waktu yang lama, fotoku jadi dalam beberapa
ukuran. Ku bayar dengan selembar kertas hijau bertuliskan Rp 20.000. Mahal
sekali, padahal hanya satu jepret saja, dan kertas fotonya pun tak begitu
bagus, pikirku. Tapi, ya sudahlah, yang penting point pertama sudah fiks. Aku
yang membonceng kakak segera pulang menuju rumah. Hari kedua, ku ajak lagi mas
Udin untuk ke balai desa. Tapi dia tidak bisa, alas an pekerjaannya yang tidak
bisa ditinggal. Yah, hari itu perjuanganku mengurus persyaratan registrasi
kuliah ditunda. Hari ketiga. Hari Rabu 01 Juni 2015 aku berangkat lagi ke balai
desa bersama mas Udin. Beruntung, pak kades ada di sana. Alhamdulillah hanya memerlukan kurang lebih 5 menit saja untuk
mendapat tanda tangan dan stampel desa. Ku lanjutkan perjalananku menuju kantor
kecamatan. Sesampainya, aku berjalan pelan tapi pasti menuju ruangan orange
yang di atas pintunya tertuliskan KAMI SIAP MELAYANI ANDA. Lagi – lagi ini
adalah pertama kalinya aku mengurus KTP sendiri. Kakakku hanya menunggu di
parkiran, dan membiarkanku mengurus semuanya sendiri. Sudah besar katanya. Ya,
sekarang aku sudah besar, buktinya hari ini aku akan mendaftarkan diri membuat
KTP. Terlihat jelas dari balik jendela kaca beningnya, terdapat banyak bapak –
bapak dan ibu – ibu di dalamnya. Aku masuk dan langsung menanyakan kepada petugas.
Alhasil, aku harus mengisi daftar hadir dulu dan menunggu namaku dipanggil
nantinya. Ku beranikan melangkah ke sebuah kursi panjang yang kosong dan duduk
di sana. Aku serasa paling muda di dalam ruangan itu. Lama, lama, aku bosan.
Akhir – akhir ini pekerjaanku adalah menunggu. Rahma Setiyaningsih / Jaridin / Karangasem namaku dipanggil oleh
petugas. Segera aku maju dengan membawa surat – surat penting dari desa. Lalu
ku jelaskan maksud dan tujuanku kepadanya yang berdasi rapi. Ku serahkan
beberapa surat dan perlengkapan membuat KTP seperti foto ukuran 2x3. Dan ku
serahkan juga surat penghasilan orang tua yang memang harus ditanda tangani
oleh pak camat.
..........................................................Bersambung
0 comments:
Posting Komentar