Sabtu, 03 Oktober 2015

Hijrahku ke Purwokerto Part 3

Selamat Pagi, Selamat Hari Sabtu, Happy weekend, eh selamat sabtu malam, cie yang nanti malem mau malem mingguan, cie akunya malem mingguan sama Notebook doang :D *Ups hehehe Ama posting lagi kisah yang kemaren, iya, yang kemaren kemarennya lagi hehehe.. Yaudah, langsung aja yok ^^
Semangatku semakin hari semakin bertambah. Apalagi pengumuman yang ku lihat dengan mata kepalaku sendiri itu yang membuatku bahagia, bersyukur, dan semangat. Semangat yang waktu itu sempat redup. Bahkan seakan tak pernah membara lagi. Semangat yang patah ketika bapak tak mengizinkan aku untuk kuliah dengan alasan “nduk bapak nggak sanggup mbiayain kamu, kuliah itu kan biayanya mahal, bapak takut, apalagi pekerjaan bapak kan hanya seorang petani,”. Sedih, kecewa, gundah gulana ku rasakan saat itu. Air matapun tak sanggup lagi ku bendung di sudut mata. Hanya doa, doa, dan doa yang selalu ku panjatkan kepadaNya. Berharap bapak bisa membuka hatinya, dan mengizinkanku kuliah. Segala upaya pun sudah ku lakukan. Aku sempat mengatakan sesuatu pada bapak. Mencoba meyakinkannya, bahwa bapak pasti bisa membiayai kuliahku walau beliau hanya seorang petani. “Pak, kuliah itu ndak semahal yang bapak bayangkan, di IAIN Purwokerto itu biaya kuliah sesuai dengan penghasilan orang tua, semakin besar penghasilannya maka semakin besar juga biaya kuliahnya, begitupun sebaliknya pak, jadi, bapak jangan khawatir mengenai biayanya, InsyaAlloh bapak sanggup, dan kalau Ra’ jadi kuliah di sana, Ra’ akan mencoba mencari Beasiswa, supaya bisa meringankan tanggungan bapak, tapi, kalaupun Ra’ tetap ndak di izinkan kuliah, InsyaAlloh Ra’ ikhlas pak” tak terasa, air mata sudah meleleh di pipi. Segera ku seka, agar tak ada yang melihat air mata tulusku itu, bukan karena apa, aku hanya tidak ingin mereka tahu aku sedih. Hari berikutnya, aku mulai bisa menerima jika seandainya aku tetap tidak diizinkan kuliah. Mungkin kuliah di kampus hijau itu hanya impian. Dan mungkin Allah sudah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untukku. Aku ikhlas Ya Rabb..
Setelah pengumuman SPAN-PTKIN itu keluar, aku mendownload persyaratan registrasinya. Dengan segera aku mencatat satu persatu point pentingnya. Tak pernah ku duga, persyaratan registrasi kuliah itu cukup ribet. Salah satunya harus membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), syarat membuat SKCK yaitu melampirkan fotokopi KTP, sedangkan aku belum membuat KTP. Walaupun umurku sudah 17 tahun, tapi aku belum punya KTP, dan sampai detik ini pun aku belum punya (belum jadi). Aku mencoba membicarakan hal itu dengan mama. Mama sangat mendukung. Lalu ku bicarakan dengan kakak-kakakku, mereka pun setuju dan siap membantuku melengkapi persyaratan registrasi kuliah itu. Bagaimana dengan bapak? Ya Allah, semoga Engkau membuka pintu hati bapak. Subhanalloh, Ternyata bapak pun menyetujui dan mendukungku untuk mengurus registrasi kuliah. Alhamdulillah Ya Allah, doaku telah Kau kabulkan. Simpul senyum mengembang seketika itu juga. Bahagianya mendengar keputusan akhir dari bapak. Langkah awal yang ku lakukan adalah pergi ke balai desa. Untuk membuat KTP, rujukan SKCK dan surat penghasilan orang tua. Bersama kakakku, mas Udin aku pergi ke balai desa. Kebetulan hari sabtu, jadi balai desa tutup. Akhirnya aku pulang dan menunggu hari berikutnya. Tibalah hari senin, hari pertama aku mengurus persyaratan registrasi kuliah. Pertama kalinya juga aku mengurus KTP sendiri. Pagi yang cerah untuk mengawali semuanya dengan baik. Bersama mas Udin lagi, aku pergi ke balai desa. Sesampainya, aku mengatakan maskud dan tujuanku kepada pak kades. Alhamdulillah, surat penghasilan orang tua segera dibuatkan, begitupun dengan surat untuk membuatk KTP dan SKCK. Untuk mendapatkan semua itu pastinya membutuhkan kesabaran yang sangat besar. Sekian jam lamanya, akhirnya surat  - suratku selesai juga. Itu artinya, kegiatanku duduk manis di kursi hijau akan segera berakhir.  Hanya butuh tanda tangan dan stampel dari pak kades. Ternyata pak kades sudah tidak ada di balai desa, beliau pergi rapat di pendopo kecamatan katanya. Ku putuskan untuk menyusul, tapi malangnya nasib di tengah perjalananku rintik air hujan mulai turun dan membasahi kerudung putih yang ku pakai. Apa boleh buat? Aku dan mas Udin sudah setengah perjalanan menuju pendopo kecamatan. Kami tetap melanjutkan perjalanan dengan mengendarai motor butut disertai hujan tanpa mantel. Hati kecilku berkata, terimakasih mas, kamu mau mengantarkan adik kecilmu ini ke pendopo kecamatan yang jaraknya lumayan jauh, hanya untuk meminta tanda tangan dari pak kades, kamu rela berbasah-basah karena hujan, sekali lagi terimakasih mas, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika tidak ada kamu, kamulah kakak yang baik. Aku mendekap erat map yang berisi surat – surat penting dari desa. Seakan tak rela satu tetes air hujan membasahinya. Sesampainya di sana, aku menanyakan keberadaan pak kades Karangasem kepada petugas yang sedang duduk di kursinya. Beliau menjawab disertakan juga  senyumnya “Ditunggu saja ya mbak” “Nggih pak, maturnuwun, pareng…” jawabku seramah mungkin. Aku menunggu pak kades di pendopo kecamatan bersama mas Udin, sementara hujan semakin deras membasahi bumi. Setengah jam lamanya aku duduk sambil menghitung air hujan, dan menunggu pak kades. Sedikit risau, karena sedari tadi pendopo masih sepi, dan tidak ada tanda – tanda akan dilaksanakan sebuah rapat di sana. Sosok pak kades dengan kumis tebalnya pun tak kunjung datang. Kemudian datanglah seorang bapak tua yang perutnya agak buncit seperti ibu hamil dengan menenteng tas hitam, melempar senyumnya kepadaku. Segera mungkin ku balas dengan senyuman yang terindah (hehehe). Beberapa patah kata basa basi pun ku lontarkan kepadanya. Dan akhirnya ku curahkan kerisauanku tentang pak kades yang tak kunjung datang. Beliau pun menghubungi pak kades dengan mengirim SMS dan menanyakan keberadaannya. Satu balasan dari pak kades yang membuat harapanku hancur berkeping – keeping saat itu. Saya lagi rapat di pendopo kabupaten. Ya Rabbi.. waktuku terbuang sia – sia. Ternyata bukan di pendopo kecamatan, melainkan di pendopo kabupaten. Sudah sekian lamanya ku menunggu. Tapi ternyata aku salah mendapatkan informasi. Ya sudahlah, ku akhiri kekecewaanku dan tak lupa berterimakasih kepada bapak tua yang sebetulnya sangat ramah itu, namun aku lupa namanya. Siapapun engkau, dimanapun engkau, aku sangat berterimakasih kepadamu pak, karena informasi dari bapaklah aku mengakhiri penantian yang berujung sia – sia itu. Hujan masih setia membasahi bumi, namun tinggal beberapa rintiknya saja. Mengingat persyaratan registrasi yang belum lengkap, aku teringat point pertama. “1. Pasfoto berwarna dengan latar belakang merah berpakaian formal, ukuran 2x3 sebanyak 2 lembar dan ukuran 3x4 sebanyak 4 lembar.” Kebetulan di dekat pendopo kecamatan ada tempat untuk mencetak foto, mampirlah aku ke sana. Berhubung aku tidak mempunyai file foto latar belakang merah berpakaian formal, ku putuskan untuk mengambil gambar di sana. Beruntung, seorang ibu muda yang memotretku. Jadi tidak ada rasa malu atau gerogi dalam benakku. Tak butuh waktu yang lama, fotoku jadi dalam beberapa ukuran. Ku bayar dengan selembar kertas hijau bertuliskan Rp 20.000. Mahal sekali, padahal hanya satu jepret saja, dan kertas fotonya pun tak begitu bagus, pikirku. Tapi, ya sudahlah, yang penting point pertama sudah fiks. Aku yang membonceng kakak segera pulang menuju rumah. Hari kedua, ku ajak lagi mas Udin untuk ke balai desa. Tapi dia tidak bisa, alas an pekerjaannya yang tidak bisa ditinggal. Yah, hari itu perjuanganku mengurus persyaratan registrasi kuliah ditunda. Hari ketiga. Hari Rabu 01 Juni 2015 aku berangkat lagi ke balai desa bersama mas Udin. Beruntung, pak kades ada di sana. Alhamdulillah hanya memerlukan kurang lebih 5 menit saja untuk mendapat tanda tangan dan stampel desa. Ku lanjutkan perjalananku menuju kantor kecamatan. Sesampainya, aku berjalan pelan tapi pasti menuju ruangan orange yang di atas pintunya tertuliskan KAMI SIAP MELAYANI ANDA. Lagi – lagi ini adalah pertama kalinya aku mengurus KTP sendiri. Kakakku hanya menunggu di parkiran, dan membiarkanku mengurus semuanya sendiri. Sudah besar katanya. Ya, sekarang aku sudah besar, buktinya hari ini aku akan mendaftarkan diri membuat KTP. Terlihat jelas dari balik jendela kaca beningnya, terdapat banyak bapak – bapak dan ibu – ibu di dalamnya. Aku masuk dan langsung menanyakan kepada petugas. Alhasil, aku harus mengisi daftar hadir dulu dan menunggu namaku dipanggil nantinya. Ku beranikan melangkah ke sebuah kursi panjang yang kosong dan duduk di sana. Aku serasa paling muda di dalam ruangan itu. Lama, lama, aku bosan. Akhir – akhir ini pekerjaanku adalah menunggu. Rahma Setiyaningsih / Jaridin / Karangasem namaku dipanggil oleh petugas. Segera aku maju dengan membawa surat – surat penting dari desa. Lalu ku jelaskan maksud dan tujuanku kepadanya yang berdasi rapi. Ku serahkan beberapa surat dan perlengkapan membuat KTP seperti foto ukuran 2x3. Dan ku serahkan juga surat penghasilan orang tua yang memang harus ditanda tangani oleh pak camat.


..........................................................Bersambung

0 comments:

Posting Komentar